Jurnal Republik, Jakarta – Pemkot Jakarta Barat melalui Suku Dinas Kebudayaan terus berupaya melestarikan kesenian Betawi, baik melalui pembinaan atau pelatihan di Pusat Pelatihan Seni Budaya (PPSB) Rawa Buaya kepada sanggar-sanggar, generasi muda, dan warga masyarakat maupun pementasan di berbagai acara.
Kepala Suku Dinas Kebudayaan Jakarta Barat, Joko Mulyono, mengungkapkan pihaknya juga sedang berupaya menghidupkan kembali kesenian yang mulai punah. Ia menyampaikan ada beberapa kesenian yang sudah mulai punah bahkan sepenuhnya punah.
“Jadi, kami di Jakarta dan Jakarta Barat, itu ada kesenian-kesenian yang terpelihara, kemudian kesenian yang hampir punah, dan kesenian yang sudah punah,” sebut Joko kepada wartawan, Selasa (15/4).
“Yang terpelihara itu ya tari-tarian yang sering ditampilin atau warga masyarakat kalau mau nikahan gitu tariannya ditampilkan. Palang pintu, lenong, kan masih ada, masih terpelihara,” ujarnya. Artinya, sambung Joko, kesenian yang terpelihara berarti banyak sanggar di Jakarta yang melatih kesenian tersebut dan hasilnya masih digunakan oleh warga setempat.
Sementara kesenian yang hampir punah, berarti hanya beberapa sanggar saja yang mengajarkan kesenian itu. “Contohnya ada salah satu namanya musik Samrah. Samrah itu perpaduan antara gambus sama keroncong gitu, ciri khasnya dia ada akordeonnya (alat musik semacam pianika),” kata Joko.
Untuk itu, pihaknya mulai menghidupkan kembali kesenian Samrah di Jakarta Barat agar lestari dan kembali dikenal masyarakat Jakarta. “Samrah itu di Jakarta Barat nggak ada. Selama berpuluh-puluh tahun kemarin nggak ada. Baru kami bentuk kemarin di awal puasa. Supaya ada nih muncul lagi seni musik Samrah di Jakarta Barat,” jelas Joko.
Pihaknya yang menyediakan pelatihnya dan memasukan materi tari ini ke sejumlah sanggar di Jakarta Barat. “Lagu-lagu Samrah tuh kayak lagunya Bing Selamet, lagu Burung Nuri,” katanya.
Lebih lanjut Joko mengungkapkan, di Jakarta Barat ada kesenian yang sudah benar-benar punah dan tidak lagi dilestarikan. Selain sulit dilakukan dan tak ada yang melatih, kesenian ini juga dinilai bertentangan dengan aspek religi. Di beberapa daerah tarian ini masih dilestarikan.
“Yang sudah punah di Jakarta itu namanya Sambat. Tari menyambat namanya. Biasanya, buat acara-acara dulu panen raya. Nyambat itu agak susah memang. Karena dia harus kayak kuda lumping. ‘Nyambat’ itu kayak manggil (yang gaib) gitu. Jadi yang nari itu bukan dianya,” jelas Joko.
Selain tarian, kesenian lain yang sudah punah adalah Prosa, semacam Sahibul Hikayat. “Sahibul Hikayat tuh kayak dia satu tokoh nih, satu seniman nih menceritakan cerita monolog gitu. Tapi ada pesan-pesan moral gitu, tapi pakai bahasa-bahasa pantun,” kata Joko. Menurutnya, di Jakarta Barat belum ada sanggar yang melestarikan kesenian itu lagi. (aji)